PERSEDIAAN
BARANG
PENILAIAN PERSEDIAAN BARANG
Yang dimaksud
dengan penilaian persediaan barang adalah menentukan nilai persediaan yang
dicantumkan dalam neraca. Persediaan akhir bisa dihitung harga pokoknya dengan
menggunakan beberapa cara penentuan harga pokok persediaan akhir, neraca
tergantung pada metode penilaian yang digunakan.
Ada 3 metode
penilaian yaitu (a) metode harga pokok, (b) metode harga pokok atau nilai
realisasi bersih yang lebih rendah, dan (c) nilai realisasi atau disebut juga
metode harga jual.
(a)
Metode Harga Pokok
Dalam metode ini harga pokok persediaan akhir
akan dicantumkan dalam neraca. Di sini tidak ada perbedaan antara harga pokok
persediaan dan nilai persediaan dalam neraca. Harga pokok persediaan barang
dapat ditentukan dengan cara MPKP (FIFO), rata-rata tertimbang, MTKP (LIFO) atau yang lain dan
hasilnya dicantumkan dalam neraca tanpa perubahan. PSAK No. 14 tidak
membenarkan digunakannya metode harga pokok untuk menentukan nilai persediaan
dalam negara.
(b)
Metode Harga Pokok atau Nilai
Realisasi Bersih yang Lebih Rendah
PSAK No. 14 menyatakan bahwa persediaan
barang akan dicantumkan dalam neraca dengan nilai sebesar harga pokoknya atau
nilai realisasi bersihnya, yang lebih rendah. Menurut PSAK No. 14 nilai
realisasi bersih (net realizable value) adalah taksiran harga penjualan
dalam usaha normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan taksiran yang
diperlukan untuk melaksanakan penjualan. Dalam kondisi tertentu, nilai
realisasi bersih diukur dengan nilai pengganti atau biaya mereproduksi
persediaan (replacement cost). Untuk menentukan besarnya harga pokok
persediaan, dalam PSAK No 14 disebut timbul sampai persediaan, meliput semua
biaya pembelian, biaya konversi dan biaya lain yang timbul sampai persediaan
berada dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau dipakai (present
location and condition).
Dalam rangka penerapan standar biaya atau
nilai realisasi bersih yang lebih rendah, berikut ini ketentuannya :
- Taksiran harga jual dalam kegiatan usaha sehari-hari dikurangi biaya-biaya yang dapat diperkirakan terlebih dahulu untuk penyelesaiannya atau penjualannya), dan
- Tidak boleh lebih rendah dari nilai realisasi bersih sesudah dikurangi dengan laba normal.
Nilai realisasi bersih merupakan batas
maksimum yang diperkenankan untuk mencantumkan persediaan dan disebut batas
atas. Nilai realisasi bersih dikurangi laba normal merupakan batas minimum
dimana nilai persediaan barang, tidak boleh lebih rendah. Untuk menentukan
dengan nilai berapakah persediaan barang akan dicantumkan dalam negara, pertama
kali dibandingkan antara harga pokok dengan nilai realisasi bersih, disiplin
yang lebih rendah. Jumlah yang lebih rendah tersebut kemudian dibandingkan
dengan batas atas dan batas bawahnya. Apabila jumlah yang lebih rendah tersebut
masih dalam batas-batas atas dan bawah maka nilai persediaan dalam negara
adalah jumlah yang lebih rendah tersebut. Tetapi apabila jumlah yang lebih
rendah tersebut diluar batas atas atau dibawah batas bawah, maka persediaan
akan dinilai dengan batas atas atau batas bawah. Sebagai contoh penggunaan
metode diatas misalnya diketahui :
Biaya penjualan barang A per unit = 400,00
Laba normal per unit = 300,00
Apabila taksiran harga jual, harga pokok dan
nilai realisasi bersih (harga pokok pengganti) dalam beberapa keadaan (no. 1
s.d no. 6) seperti contoh dibawah maka harga pokok atau nilai realisasi bersih
yang lebih rendah ditentukan dengan cara sebagai berikut :
Keadaan
No
|
Taksiran
Harga Jual
|
Harga
Pokok
|
Nilai
Realisasi Bersih
|
Harga Pokok
atau nilai realisasi Bersih yang
Lebih Rendah
|
||
Batas Bawah
|
Batas Atas
|
Harga Pokok
Pengganti
|
||||
1.
|
Rp 1.500,00
|
Rp 1.050,00
|
Rp 800,00
|
Rp 1.100,00
|
Rp 1.200,00
|
Rp 1.050,00
|
2.
|
1.500,00
|
1.050,00
|
800,00
|
1.100,00
|
950,00
|
950,00
|
3.
|
1.500,00
|
1.050,00
|
800,00
|
1.100,00
|
750,00
|
800,00
|
4.
|
1.500,00
|
1.050,00
|
800,00
|
950,00
|
1.100,00
|
950,00
|
5.
|
1.500,00
|
1.050,00
|
800,00
|
950,00
|
850,00
|
850,00
|
6.
|
1.500,00
|
1.050,00
|
800,00
|
950,00
|
600,00
|
650,00
|
Keterangan
- Nilai realisasi bersih yang dipilih adalah batas atas (Rp 1.100,00), karena harga pokok pengganti (Rp l .200,00) lebih tinggi dan batas atas. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rpl.l00,00) dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp 1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp 1.050,00.
- Harga pokok pengganti (Rp 950,00) masih di dalam batas atas dan batas bawah, sehingga harga pokok pengganti ini (Rp 950,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp950,00) dibandingkan dengan harga pokok (Rp 1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp 950,00.
- Harga pokok pengganti (Rp750,00) lebih rendah dan batas bawah (Rp 800,00) sehingga batas bawah (Rp800,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp800,00) kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp 1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp 800,00.
- Harga pokok pengganti (Rp 1.000,00) lebih tinggi dan batas atas (Rp 950,00) sehingga yang dipilih adalah batas atas (Rp 950,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp 1 .050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp950,00.
- Harga pokok pengganti (Rp 850,00) masih berada di antara batas bawah dan. Batas atas, sehingga harga pokok pengganti ini yang dipilih (Rp 850,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp 850,00) dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp 1 .050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp850,00.
- Harga pokok pengganti (Rp600,00) lebih rendah dan batas bawah (Rp650,00) sehingga yang dipilih adalah batas bawah. Nilai realisasi bersih yang dipilih kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp 1.050,00) dan. dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp650,00.
Cara Penerapan Metode Harga Pokok
atau Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah
Metode harga
pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah bisa diterapkan kepada
masing-masing jenis persediaan, masing-masing kelompok persediaan ata kepada
jumlah keseluruhan persediaan. Di bawah ini adalah contoh penerapan untuk
ketiga cara di atas. Misalnya toko Maju mempunyai persediaan barang pada
tanggal Desember 2005 dengan harga pokok dan nilai realisasi bersih sebagai
berikut:
Jenis Barang
|
Harga Pokok
|
Harga Pasar
|
Harga Pokok
atau Harga Pasar yang Lebih Rendah
|
||
Masing-masing
Jenis
Persediaan
|
Kelompok-kelom-
pok Persediaan
|
Keseluruhan
Persediaan
|
|||
Kelompok 1 :
Barang A
Barang B
Kelompok 2 :
Barang C
Barang D
Jumlah
|
Rp. 50.000,00
45.000,00
Rp. 95.000,00
Rp.105.000,00
70.000,00
Rp.175.000,00
Rp.270.000,00
|
Rp. 45.000,00
52.000,00
Rp. 97.000,00
Rp.110.000,00
60.000,00
Rp.170.000,00
Rp.276.000,00
|
Rp. 45.000,00
45.000,00
Rp.105.000,00
60.000,00
|
Rp. 95.000,00
Rp.105.000,00
|
Rp.276.000,00
|
Nilai persediaan
|
Rp.
225.000,00
|
Rp. 265.000,00
|
Rp.276.000,00
|
Apabila metode harga pokok atau nilai
realisasi bersih yang lebih rendah diterapkan kepada:
- masing-masing jenis persediaan barang, maka nilai persediaan yang
dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp255.000,00;.
- kelompok-kelompok persediaan barang, maka nilai persediaan yang
dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp265.000,00;
- Keseluruhan persediaan barang, maka nilai persediaan yang
dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp 267.000,00.
Dari
perhitungan di atas nampak bahwa penerapan untuk masing-masing jenis persediaan
akan menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan cara penerapan
yang lain. Sedangkan penerapan untuk masing-masing kelompok atau keseluruhan
persediaan menghasilkan nilai yang mendekati keadaan, karena penurunan harga
salah satu jenis barang akan diimbangi dengan kenaikan harga barang yang lain.
Masing-masing cara di atas dapat digunakan untuk menilai persediaan barang
dengan atasan hendaknya diterapkan secara konsisten setiap periode.
Pencatatan Metode Harga Pokok atau
Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah
Pembelian
barang-barang dicatat pada saat terjadinya berdasar harga pokok, oleh karena
itu jika persediaan akan dicatat di bawah harga pokoknya (misalnya, apabila
nilai realisasi bersih lebih rendah) maka ada 2 hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:
- Harga pokok penjualan/harga pokok barang-barang yang dipakai.
- Kerugian karena turunnya harga persediaan.
Ada 3 prosedur
yang dapat digunakan untuk mencatat aturan harga pokok atau nilai realisasi
bersih yang lebih rendah.
a.
Metode pengurangan persediaan
langsung, di mana kerugian penurunan harga persediaan tidak dilaporkan
tersendiri.
b.
Metode pengurangan persediaan
langsung, di mana hanya kerugian penurunan harga persediaan akhir yang
dilaporkan tersendiri.
c.
Metode cadangan persediaan, di mana
kerugian penurunan harga persediaan awal dan akhir dilaporkan tersendiri.
Untuk
mengilustrasikan penggunaan ketiga metode di atas, dipakai contoh persediaan
barang sebagai berikut:
Harga Pokok
|
Harga Pokok
atau nilai realisasi
Bersih yang
lebih rendah
|
Selesih/Rugi
|
|
1 Januari 2005
31Desember 2005
31 Desember 2006
|
Rp. 300.000,00
320.000,00
240.000,00
|
Rp. 300.000,00
280.000,00
224.000,00
|
-
Rp. 40.000,00
16.000,00
|
Cara pencatatan
dan akibat penggunaan ketiga metode di atas terhadap laporan laba rugi sebagai
berikut:
a.
Metode Pengurangan Persediaan
Langsung
-
Kerugian Tidak Disendirikan
Dalam cara ini harga pokok penjualan dan
persediaan barang awal dan akhir. dicatat dengan jumlah harga pokok atau nilai
realisasi bersih, yang lebih rendah. Apabila nilai realisasi bersih lebih
rendah dan harga pokok, maka rekening harga pokok penjualan mengandung 2 elemen, yaitu:
- harga pokok penjualan barang-barang yang dijual berdasarkan harga
pokok,
- kerugian penurunan harga persediaan barang.
Metode ini sederhana tetapi tidak memisahkan
harga pokok penjualan dan kerugian penurunan harga persediaan. Apabila dipakai
metode buku, harus dibuat penyesuaian. terhadap buku pembantu persediaan
barang.
Metode Fisik
Tahun 2005
Harga pokok penjualan
|
Rp.
300.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 300.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
280.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 280.000,00
|
(Mencatat persediaan akhir dengan jumlah harga pokok atau nilai
realisasi bersih yang lebih rendah).
Tahun 2006
Harga pokok penjualan
|
Rp.
280.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 280.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
224.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 224.000,00
|
(Mencatat persediaan akhir dengan jumlah harga pokok atau nilai
realisasi bersih yang lebih rendah).
Metode Buku
Tahun 2005
Harga pokok penjualan
|
Rp. 40.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 40.000,00
|
(Mengurangi nilai persediaan akhir menjadi jumlah harga pokok atau
nilai realisasi bersih yang lebih rendah).
Tahun 2006 :
Harga pokok penjualan
|
Rp. 16.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 16.000,00
|
(Mengurangi nilai persediaan akhir menjadi jumlah harga pokok atau
nilai realisasi bersih yang lebih rendah).
b.
Metode Pengurangan Persediaan Langsung
- Kerugian Penurunan Harga Persediaan Akhir Disendirikan
Dalam cara ini persediaan awal dan akhir
dicatat dengan harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah.
Tetapi laba rugi dikredit dengan persediaan barang sebesar harga pokoknya, selisihnya
merupakan kerugian penurunan harga persean yang dicatat tersendiri.
Sering harga pokok penjualan mengandung 2 elemen, yaitu:
Harga pokok barang yang dijual berdasar harga pokok.
Penurunan harga persediaan barang awal periode.
apabila dipakai metode buku, buku pembantu
persediaan harus disesuaikan.
Metode Fisik
Tahun 2005:
Harga pokok penjualan
|
Rp.
300.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 300.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
280.000,00
|
|
Rugi penurunan harga persediaan
|
40.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 320.000,00
|
(Mencatat persediaan akhir dan mengakui
kerugian).
Tahun 2006 :
Harga pokok penjualan
|
Rp.
280.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 280.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
224.000,00
|
|
Rugi penurunan harga persediaan
|
16.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 40.000,00
|
(Mengurangi nilai persediaan akhir menjadi jumlah harga pokok atau
nilai realisasi bersih, yang lebih rendah).
Tahun 2006 :
Rugi penurunan harga persediaan
|
Rp. 16.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 16.000,00
|
(mengurangi nilai persediaan akhir menjadi jumlah harga pokok atau
nilai realisasi bersih yang lebih rendah).
c.
Metode Cadangan Persediaan
-
Kerugian Penurunan Harga Persediaan
Awal dan Akhir Disendirikan
Dalam cara ini rekening harga pokok penjualan
dan persediaan awal dan akhir dicatat dengan harga pokok. Apabila nilai
realisasi bersih Iebih rendah maka kerugian penurunan persediaan barang awal
periode dicatat tersendiri dan dikreditkan ke rekening cadangan.
Rekening cadangan ini setiap periode
disesuaikan dengan jumlah kerugian penurunan harga pada saat itu. Apabila
kerugian penurunan harga persediaan akhir Iebih besar daripada kerugian
penurunan harga persediaan awal periode, maka rekening cadangan ditambah dan
dibebankan sebagai kerugian. Tetapi apabila rugi penurunan harga persediaan
akhir lebih kecil dan rugi penurunan harga persediaan awal, maka rekening
cadangan dikurangi. dan dicatat sebagai laba.
Jika dipakai metode buku, tidak diperlukan
penyesuaian terhadap buku pembantu persediaan barang.
Metode Fisik
Tahun 2005 :
Harga pokok penjualan
|
Rp.
300.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 300.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
320.000,00
|
|
Rugi penurunan harga persediaan
|
40.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 320.000,00
|
|
Cadangan
penurunan harga penjualan
|
40.000,00
|
(Mencatat persediaan akhir dengan jumlah harga pokok dan mengakui
kerugian).
Tahun 2006 :
Harga pokok penjualan
|
Rp.
320.000,00
|
|
Persediaan
barang
|
Rp. 320.000,00
|
|
(Menutup persediaan awal)
|
||
Persediaan barang
|
Rp.
240.000,00
|
|
Rugi penurunan harga persediaan
|
24.000,00
|
|
Harga pokok
penjualan
|
Rp. 240.000,00
|
|
Cadangan
penurunan harga penjualan
|
24.000,00
|
(Mencatat persediaan akir dengan jumlah harga pokok dan mengakui
kerugian).
Metode Buku
Tahun 2005 :
Rugi penurunan harga persediaan
|
Rp.40.000,00
|
|
Cadangan
penurunan harga penjualan
|
Rp.40.000,00
|
(Mengurangi persediaan akhir menjadi jumlah harga pokok atau nilai
realisasi bersih, yang lebih rendah).
Tahun 2006 :
Cadangan penurunan harga persediaan
|
Rp.24.000,00
|
|
Laba dari
pengurangan cadangan penurunan harga persediaan
|
Rp.24.000,00
|
(Menyesuaikan perkiraan cadangan agar sesuai dengan rugi turunnya
harga persediaan akhir).
c) Metode
Harga Jual
Penimpangan dari prinsip harga pokok
untuk penilaian persediaan yaitu dengan mencantumkan persediaan dengan harga
jual bersihnya dapat diterima dengan syarat :
1.
Ada
kepastian bahwa barang-barang itu akan dapat segera dijual dengan harga yang
telah ditetapkan
2.
Merupakan
produk standar, yang pasarnya mampu menampung serta sulit untuk menentukan
harga pokoknya.
Penyimpangan dengan penilaian sebesar
harga jual biasanya untuk produk dari tambang logam mulia (emas dan perak) dan
hasil-hasil pertanian/peternakan. Apabila persediaan dicantumkan dalam neraca
sebesar harga jual bersihnya maka metode penilaian yang digunakan hendaknya
dijelaskan dalam neraca.
PENILAIAN
PERSEDIAAN DALAM KONTRAK JANGKA PANJANG
Dalam pekerjaan pembangunan jangka
panjang (lebih dari satu periode akuntansi), pada akhir periode timbul masalah
penilaiaan persediaan dan penentuan laba atau rugi untuk periode tersebut.
Apabila pekerjaan yang belum selesai pada akhir periode tetap dicatat
berdasarkan harga pokok maka laba baru akan diakui pada saat pembangunan
selesai, metode ini disebut metode kontrak selesai (completed contract method).
Apabila setiap akhir periode dilakukan perhitungan laba rugi atas pekerjaan
yang belum selesai maka, pekerjaan yang belum selesai dicatat di atas/di bawah
harga pokoknya, metode ini disebut metode persentase penyelesaian (percentage
of completion method).
Contoh :
PT Tina Guna menerima kontrak untuk
membangun sebuah kompleks perumahan pada tanggal 1 Februari 2005 yang
diperkirakan akan selesai dalam waktu 21/2 tahun dengan harga kontrak sebesar
Rp. 30.000.000,00. Data yang diketahui sebagai berikut :
2005
|
2006
|
2007
|
|
Biaya yang dikeluarkan
|
Rp.
7.000.000,00
|
Rp.11.000.000,00
|
Rp.
9.300.000,00
|
Taksiran biaya penyelesaian (akhir tahun)
|
Rp.20.000.000,00
|
Rp. 9.200.000,00
|
-
|
Uang muka pemesan
|
Rp.
6.000.000,00
|
Rp.11.500.000,00
|
Rp.12.500.000,00
|
1.
Metode Kontrak Selesai
Semua
biaya yang dikeluarkan dalam kontrak pembangunan dikumpulkan dalam rekening
bangunan dalam pelaksanaan. Uang yang diterima dari pemesan dikreditkan ke
rekening uang muka pesanan, sebelum bangunan selesai tidak ada pendapatan yang
diakui.
2.
Metode Persentase Penyelesaian
Semua
biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan dicatat dalam rekening bangunan dalam
pelaksanaan. Penerimaan uang dari pemesan dikreditkan ke rekening uang muka
pesanan. Setiap akhir periode dilakukan perhitungan laba atau rugi berdasarkan
persentase penyelesaian. Taksiran laba dicatat dengan mendebit rekening
bangunan dalam pelaksanaan dan mengkredit rekening pengakuan laba kontrak
jangka panjang.
Dari data
diatas setiap akhir periode diadakan perhitungan laba rugi sebagai berikut :
Jurnal
untuk mencatat transaksi diatas :
Transaksi
|
Rekening
|
Kontrak Selesai
|
Persentase Penyelesaian
|
2005
Biaya pembangunan
Uang muka pemesan
Pengakuan laba
2006
Biaya pembangunan
Uang muka pemesan
Pengakuan laba
2007
Biaya pembangunan
Uang muka pemesan
Pengakuan laba
Penyerahan bangunan kepada pemesan
|
Bangunan dalam pelaksanaan
Bahan, utang, kas dan lain-lain
Kas
Uang muka pesanan
Bangunan dalam pelaksanaan
Pengakuan laba kontrak jangka panjang
Bangunan dalam pelaksanaan
Bahan, utang, kas dan lain-lain
Kas
Uang muka pesanan
Bangunan dalam pelaksanaan
Pengakuan laba kontrak jangka panjang
Bangunan dalam pelaksanaan
Bahan, utang, kas dan lain-lain
Kas
Uang muka pesanan
Bangunan dalam pelaksanaan
Pengakuan laba kontrak jangka panjang
Bangunan dalam pelaksanaan
Laba pembangunan
Uang muka pesanan
Bangunan dalam pelaksanaan
|
Rp. 7.000.000
Rp. 7.000.000
Rp. 6.000.000
Rp. 6.000.000
Rp.11.000.000
Rp.11.000.000
Rp.11.500.000
Rp.11.500.000
Rp.
9.300.000
Rp.
9.300.000
Rp.12.500.000
Rp.12.500.000
Rp.
2.700.000
Rp.
2.700.000
Rp.30.000.000
Rp.30.000.000
|
Rp. 7.000.000
Rp. 7.000.000
Rp. 6.000.000
Rp. 6.000.000
Rp.
777.780
Rp. 777.780
Rp.11.000.000
Rp.11.000.000
Rp.11.500.000
Rp.11.500.000
Rp.
1.075.160
Rp.
1.075.160
Rp.
9.300.000
Rp.
9.300.000
Rp.12.500.000
Rp.12.500.000
Rp. 847.060
Rp. 847.060
Rp.30.000.000
Rp.30.000.000
|
Jumlah laba pembangunan yang dihitung dengan cara
persentase penyelesaian atau kontrak selesai berjumlah Rp. 2.700.000,00. Dalam
metode kontrak selesai, laba diakui dalam tahun 2007 yaitu pada saat selesainya
kontrak, pada tahun 2005 dan 2006 tidak ada laba yang diakui. Dalam metode
persentase penyelesaian, laba sebesar Rp. 2.700.000,00 diakui dalam 3 periode
yaitu tahun 2005, 2006 dan 2007.
Pencatatan transaksi dalam proses penagihan uang
muka pesanan dapat juga dilakukan dengan memakai rekening piutang dagang dan
tagihan kontrak jangka panjang. Apabila digunakan cara ini maka rekening uang
muka pesanan tidak ada, diganti dengan rekening tagihan kontrak jangka panjang
yang digunakan untuk mencatat jumlah yang ditagih kepada pemesan sebesar
kemajuan dalam pembangunan dan didebitkan ke rekening piutang dagang. Uang yang diterima
dari pemesan akan dikreditkan ke rekening piutang dagang. Pada akhir masa
pembangunan (saat selesainya pekerjaan) rekening tagihan kontrak jangka panjang
ditutup bersama dengan rekening bangunan dalam pelaksanaan.
Misalnya dari
data sebelumnya, pada tahun 2005 jumlah yang ditagihkan pada pemesan sebesar
Rp. 7.700.000,00 (7/27 x Rp.30.000.000,00 dibulatkan) dan pemesan membayar Rp.
6.000.000,00. Data lainnya sama seperti sebelumnya, maka jurnal yang dibuat
dalam tahun 2005 adalah :
Biaya pembangunan
Pembuatan faktur Rp.7.700.000,00 untuk menagih
pada pemesan
Penerimaan uang sebesar Rp.6.000.000,00 dari
pemesan
Pengakuan laba
|
Bangunan dalam pelaksanaan Rp.7.000.000,00
Pers. Bahan, utang, kas dan lain-lain Rp.7.000.000,00
Piutang dagang
Rp.7.700.000,00
Tagihan kontrak jangka panjang Rp.7.700.000,00
Kas
Rp.6.000.000,00
Piutang dagang
Rp. 6.000.000,00
Bangunan dalam pelaksanaan Rp. 777.780,00
Pengakuan laba kontrak jangka panjang Rp.
777.780,00
|
Jurnal yang dibuat pada saat bangunan diserahkan
pada pemesan adalah :
Tagihan kontrak
jangka panjang Rp.30.000.000,00
Bangunan dalam pelaksanaan Rp.30.000.000,00
Di dalam
neraca, rekening tagihan kontrak jangka panjang mengurangi rekening bangunan
dalam pelakasanaan yang disajikan dalam kelompok aktiva lancar dan bersifat
seperti persediaan barang.
METODE – METODE
TAKSIRAN
Dengan metode
fisik untuk pencatatan persediaan, jumlah persediaan akhir dapat diketahui
sesudah dilakukan perhitungan fisik atas barang-barang yang ada. Kadang-kadang
perhitungan fisik tidak mungkin dilakukan sehingga penentuan jumlah persediaan
dilakukan dengan cara-cara taksiran. Ada 2 cara untuk menaksir jumlah
persediaan pada tanggal tertentu yaitu
(1)
metode laba bruto
(2)
metode harga eceran
Metode Laba
Bruto
Menentukan
jumlah persediaan dengan metode laba bruto, biasanya dilakukan dalam
keadaan-keadaan sebagai berikut :
a.
Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang
diperlukan untuk menyusun laporan-laporan jangka pendek.
b.
Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang
rusak karena terbakar dan menentukan jumlah barang sebelum terjadinya
kebakaran. Perhitungan ini untuk menentukan besarnya klaim terhadap perusahaan
asuransi. Dalam keadaan ini metode laba bruto dapat digunakan bila sebagian
catatan-catatan yang diperlukan ada dan tidak musnah terbakar.
c.
Untuk
mengecek jumlah persediaan yang dihitung dengan cara-cara lain, disebut test
laba bruto.
d.
Untuk
menyusun taksiran harga pokok penjualan, persediaan akhir dan laba bruto.
Taksiran ini dihitung sesudah dibuat budget penjualan.
Dalam
metode laba bruto, pertama kali harus ditentukan besarnya persentase laba bruto
yang didasarkan pada penjualan atau harga pokok penjualan. Biasanya persentase
laba bruto ditentukan dengan menggunakan data tahun-tahun lalu. Sesudah
persentase laba bruto diketahui, lalu dikalikan pada penjualan dan hasilnya
dikurangkan pada penjualan sehingga dapat ditentukan jumlah harga pokok
penjualan. Selisih antara harga pokok penjualan dengan barang-barang yang
tersedia untuk dijual merupakan persediaan akhir.
Contoh
penggunaan metode laba bruto adalah sebagai berikut :
Persediaan barang awal Rp. 100.000
Pembeliaan (neto) Rp.
400.000
Penjualan (neto) Rp.
300.000
(a)
Misalnya
laba bruto sebesar 25% dari penjualan, maka :
Penjualan = 100%
Laba bruto = 25%
Harga pokok
penjualan = 75%
Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut :
Persediaan awal Rp. 100.000,00
Pembeliaan (neto) Rp. 400.000,00
Tersedia untuk dijual Rp.
500.000,00
Penjualan Rp.
300.000,00
Laba bruto (25% x Rp. 300.000) Rp. 75.000,00
Taksiran harga pokok penjualan Rp.
225.000,00
Taksiran nilai persediaan akhir Rp.
275.000,00
(b)
Misalnya
laba bruto sebesar 40% dari harga pokok penjualan maka :
Harga pokok
penjualan = 100%
Laba bruto =
40%
Penjualan = 140%
Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut :
Persediaan awal Rp. 100.000,00
Pembeliaan (neto) Rp. 400.000,00
Tersedia untuk dijual Rp.
500.000,00
Penjualan Rp.
300.000
Laba bruto = 40/140 x 100% x Rp.
300.000 Rp. 85.710
Taksiran harga pokok penjualan Rp.
214.290,00
Taksiran nilai persediaan akhir Rp.
285.710,00
Apabila barang yang dijual bermacam-macam dan
persentase laba brutonya berbeda-beda, maka perhitungan taksiran nilai
persediaan dilakukan untuk masing-masing kelompok barang yang persentase laba
brutonya sama.
Metode Harga Eceran (Retail Inventory
Method)
Metode harga eceran biasanya digunakan oleh
toko-toko yang menjual bermacam-macam barang secara eceran, termasuk toko serba
ada. Metode harga eceran ini
memungkinkan dihitungnya jumlah persediaan akhir tanpa mengadakan perhitungan
fisik. Metode harga eceran bisa digunakan untuk :
(1)
Menaksir
jumlah persediaan barang untuk penyusunan laporan keuangan jangka pendek,
(2)
Mempercepat
perhitungan fisik, karena jumlah yang dihitung dicantumkan dengan harga
jualnya, maka untuk mengubahnya ke harga pokok dengan cara mengalikannya dengan
persentase harga pokok tanpa perlu memperhatikan masing-masing fakturnya.
(3)
Mutasi
barang dapat diawasi yaitu dengan membandingkan hasil perhitungan fisik yang
dinilai oleh harga jual dengan hasil perhitungan dari metode harga eceran.
Dalam
metode harga eceran, persentase harga pokok yang dihitung merupakan persentase
harga pokok periode yang bersangkutan, sedangkan dalam metode laba bruto,
persentase laba brutonya ditentukan dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk
menentukan jumlah persediaan akhir, pertama kali dihitung persentase harga
pokok yaitu perbandingan barang yang tersedia untuk dijual dengan harga pokok
dan harga jual. Kemudian barang yang tersedia untuk dijual (dengan harga jual)
dikurangi jumlah penjualan yang akan menunjukkan persediaan akhir menurut harga
jual. Persediaan akhir dengan harga pokok dihitung dengan mengalikan persentase
harga pokok dengan persediaan akhir menurut harga jual. Agar metode harga
eceran dapat digunakan maka catatan harus menunjukkan data sebagai berikut:
(a)
Persediaan
awal yang dinilai dengan harga pokok dan harga jual.
(b)
Pembeliaan
yang dilakukan dengan harga pokok dan harga jual.
(c)
Perubahan-perubahan
terhadap harga jual pertama misalnya, kenaikan harga, pembatalan kenaikan
harga, penurunan harga, pembatalan penurunan harga dan potongan-potongan
khusus.
(d)
Data
penyesuaian lain seperti transfer antar bagian dalam toko, pengembalian dan
barang-barang rusak.
(e)
Jumlah
penjualan.
Contoh
perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran.
Harga eceran
|
Harga pokok
|
|
Persediaan barang awal
|
Rp.
100.000,00
|
Rp.
60.000,00
|
Pembeliaan (neto)
|
Rp.1.000.000,00
|
Rp. 780.000,00
|
Tersedia untuk dijual
|
Rp.1.200.000,00
|
Rp. 840.000,00
|
penjualan
|
Rp.1.040.000,00
|
|
Persediaan barang akhir
|
Rp.
160.000,00
|
Persentase harga pokok Rp.
840.000,00 x 100%
= 70%
Rp.1.200.000,00
Persediaan
barang akhir dengan harga pokok : 70% x Rp. 160.000,00 = Rp.112.000,00
Metode harga eceran menghasilkan suatu jumlah
taksiran persediaan barang akhir, oleh karena itu paling sedikit setahun sekali
harus diadakan perhitungan fisik dari barang yang ada untuk memeriksa apakah
ada perbedaan hasil perhitungan atau tidak. Apabila terdapat perbedaan hasil
perhitungan yang jumlahnya cukup besar maka perbedaan tersebut perlu dianalisa
untuk menentukan sebab-sebabnya.
Metode harga eceran ini dapat digunakan dengan
dasar-dasar yang berbeda yaitu (a) MPKP, (b) rata-rata tertimbang, (c) harga
pokok atau harga pasar yang lebih rendah, dan (d) MTKP.
Kenaikan dan Penurunan Harga
Biasanya karena beberapa hal, ada perubahan
terhadap harga jual yang sudah ditetapkan. Perubahan ini mendapatkan perhatian
dalam perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran. Dalam
hubungannya dengan metode harga eceran, digunakan istilah-istilah sebagai
berikut :
Istilah
|
Keterangan
|
Contoh
|
Harga jual pertama
Kenaikan harga
Pembatalan kenaikan harga
Penurunan harga
Pembatalan penurunan harga
|
Harga pokok ditambah keuntungan, merupakan
harga jual biasa
Suatu kenaikan diatas harga jual pertama
(kadang-kadang disebut dengan tambahan kenaikan harga)
Pengurangan terhadap kenaikan harga, tidak sampai dibawah harga jual
pertama
Suatu penurunan sampai dibawah harga jual pertama (Rp. 5,00 =
pembatalan kenaikan harga; Rp.15,00 = penurunan harga)
Pengurangan terhadap penurunan harga, tidak sampai diatas harga jual
pertama
|
Rp. 100,00
Rp.
10,00
Rp. 110,00
Rp. 5,00
Rp. 105,00
Rp.
20,00
Rp.
85,00
Rp.
10,00
Rp.
95,00
|
Perubahan-perubahan harga jual ini adalah untuk
setiap unit barang, sehingga untuk mengetahui jumlah perubahan harga perlu
dipertimbangkan jumlah persediaan barang yang ada pada waktu terjadi perubahan
tersebut. Jumlah perubahan harga ini yang dicatat dalam rekening.
Contoh untuk menghitung jumlah perubahan harga
adalah sebagai berikut :
Transaksi dan perubahan harga
|
Jumlah perubahan harga yang dicatat
|
|
Jumlah yang dibeli
Jumlah yang dijual (-)
Kenaikan harga
Jumlah yang dijual (-)
Pembatalan kenaikan harga
Jumlah yang dijual (-)
Pembatalan kenaikan harga dan penurunan harga
Jumlah yang dijual
Pembatalan penurunan harga
Jumlah yang dijual (-)
|
200 @ Rp. 75,00
160 @ Rp.100,00
40 @ Rp. 10,00
25 @ Rp.110,00
15 @ Rp. 5,00
7 @ Rp.105,00
8 @ Rp. 20,00
6 @ Rp. 85,00
2 @ Rp. 10,00
2 @ Rp. 95,00
0
|
Kenaikan harga Rp. 400,00
Pembatalan kenaikan harga Rp.
75,00
Pembatalan kenaikan harga
(8 x Rp. 5,00) Rp. 40,00
Penurunan harga
(8 x Rp.15,00) Rp. 120,00
Pembatalan penurunan harga
Rp. 20,00
|
Sebelum contoh penggunaan metode harga eceran
dengan dasar-dasar yang ada, perlu diketahui terlebih dahulu sifat khusus dari
masing-masing dasar yang digunakan dan pengaruhnya terhadap perhitungan
persentase harga pokok sebagaai berikut :
Dasar Pembebanan Harga Pokok
a.
MPKP (FIFO)
b.
Rata-rata (average)
c.
Harga pokok atau harga pasar yang lebih rendah
d.
MTKP (LIFO)
-
Harga stabil
-
Harga naik
|
Perhitungan Persentase Harga Pokok
Persediaan barang awal tidak dimasukkan dalam perhitungan persentase
harga pokok.
Persediaan awal dimasukkan dalam perhitungan persentase harga pokok.
Penurunan harga neto tidak dimasukkan dalam perhitungan persentase
harga pokok tetapi ditambahkan pada penjualan.
Kenaikan dan penurunan harga hanya diperhitungkan pada barang yang
dibeli dalam periode sekarang, dan tidak diperhitungkan pada persediaan awal.
Menggunakan metode nilai rupiah.
|
Untuk menjelaskan penggunaan masing-masing dasar
diatas dalam metode harga eceran, diberikan contoh sebagai berikut :
Toko serba ada “Lengkap” mempunyai data persediaan,
pembeliaan dan penjualan sebagai berikut :
Harga eceran
|
Harga pokok
|
|
Persediaan awal
Pembeliaan (satu periode)
Biaya angkut pembeliaan
Kenaikan harga
Pembatalan kenaikan harga
Penurunan harga
Pembatalan penurunan harga
Potongan untuk pegawai
penjualan
|
Rp.
300.000,00
Rp.1.680.000,00
-
Rp.
240.000,00
Rp. 40.000,00
Rp.
120.000,00
Rp. 33.340,00
Rp. 60.000,00
Rp.1.653.340,00
|
Rp.
240.000,00
Rp.1.260.000,00
Rp. 40.000,00
-
-
-
-
-
-
|
Keterangan
:
Potongan
untuk pegawai, barang-barang rusak dalam kondisi normal, akan diperlakukan sama
dengan penurunan harga. Kerusakan barang yang tidak normal akan mengurangi
jumlah yang tersedia untuk dijual dalam kolom harga pokok dan harga eceran.
Perlakuan ini diperlukan agar persediaan yang tersedia untuk dijual tidak
dinyatakan terlalu tinggi. Kerusakan barang yang tidak normal ini dilaporkan
dengan judul barang rusak atau rugi kerusakan barang.